Puzzle,Rosi

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:


Baca selengkapnya »

"..kisah sahabat di penghujung senja.."

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:

Sore itu, di antara riuh ramai rekan sunser berseru-seru ria. Saya dan seorang sahabat menyusuri pantai. Berbagi cerita tentangnya. Tentang sesuatu yang selalu menjadi pertanyaan ketika saya mendengar sesuatu yang menyedihkan tentangnya, well..sesuatu telah terjadi kepadanya.
Saya jarang sekali bertemu dengannya. Kami hidup dan tinggal di kota berbeda.
Ini bukan curhat tentang kisah picisan yang menye-menye itu.
Melainkan kisah lelaki dan wanita yang terikat dalam ikatan suci, sahabat saya telah menikah.

Dia bercerita. Saya mendengarnya.
Dia berkisah. Saya menyimaknya.
Dia menjelaskan. Saya memahaminya.
Dia berbagi dengan saya tentang hal tersebut. Saya merangkul pundaknya dengan erat.
Kami sama-sama wanita.

Dia pun mengutarakan jika suatu saat “itu” terjadi. Dia tak akan khawatir lagi. Dia sudah tak takut lagi. Kami masih berjalan beriringan di atas pasir.

Baginya, itu sudah bukan hal yang menyiksanya beberapa waktu yang lalu.
Dia selalu siap untuk menghadapinya. Karena, sahabat saya sudah mulai letih untuk menangis.
Kami pun tak peduli dengan debur ombak yang pecah dan mulai pasang.
Menjilati kaki-kaki telanjang kami.

Sahabat saya itu kuat. Dia sabar. Dia begitu tabah.
Sahabat saya begitu menerima kodratnya sebagai wanita.
Ahh..saya pun hanyut. Saya menangis. Sahabat saya tidak.
Sudah saya katakan, dia lebih kuat daripada saya –pendengar setianya.
Mentari mulai membentangkan cahaya senjanya.

Saya bisikkan padanya :
“bahwa apapun yang terjadi, kamu masih punya saya. Saya dan teman yang lainnya. Yang akan selalu setia mendukungmu, menyayangimu, dengarkanmu..”

Saya memeluk dirinya erat. Mata saya basah. Dia tidak. Dia malah tertawa.
Sedikit embun bening mengalir di dinding hati saya. Dingin. Beku. Sejuk.
Seperti angin pantai parangtritis ini di sore hari.
Itu cukup membuat saya lega dan bangga. Sahabat saya wanita yang tegar
Dan dia baik-baik saja.
“Ini senja yang indah.”


Biodata Penulis


Baca selengkapnya »

GALERY RIFQI

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:

Lagi Lihat apa Bang


Lagi Mikir


Lagi Nyari Jalan Nemu yang Buntu Truz

Lg Main Gitar Nich



Baca selengkapnya »

DOA UNTUK SEORANG ANAK KECIL

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:

Hanya panas terik matahari yang memiliki arti khusus siang ini bagiku ; sumber keringat, haus dan dahaga sekaligus berpotensi menyuburkan bau ketiak yang membuatku siaga 1 untuk selalu siap menerima “serangan” orang-orang yang mengenalku, menyapaku, lalu mengajak berbincang yang tidak mungkin kulayani dari jarak jauh.

Selain terik matahari, tidak ada yang spesial, tidak ada kebakaran dirumah penduduk dari arus pendek listrik dan kebocoran selang tabung gas. Tidak ada korban jiwa, tidak ada kerugian material, dan parahnya lagi, tidak ada apa-apa.

Angin puting beliung yang merobohkan baleho raksasa di pinggir jalan dan merusak fasilitas halte kampus, juga tidak ada....

Kali ini perhatianku teralihkan, kulihat embun segar yang menetes satu demi satu dipinggiran gelas es teh yang menandai kesegaran teh tersebut kalau sampai numpang lewat di tenggorokan yang sedari tadi memiliki hak paling besar untuk berontak dari haus yang menjajahnya.

Setelah menghampiri penjual es teh “Poci”, kuambil dompet “super setia”-ku dari kantong belakang jeans yang juga “super setia” untuk membeli segelas kesegaran dari teh Pocinya, aku mengambil posisi dan duduk dikursi yang telah disediakan menjelang pesta es tehku sebagai bentuk lain dari surga siang ini. Sambil menghayati dengan penuh penghayatan es teh yang kupegang, kujelajahi jalan pesanggrahan lewat pandangan menyelidik. Ramai dan padat karena lokasinya tepat berada di samping kampus yang menjadikannya pusat perdagangan terbesar di sekitar area kampus.

Kutatap satu persatu-satu orang yang berlalu lalang, sebagian besar adalah mahasiswa dan mahasiswi. Aku melayang menuju alam ide. Terlintas sebuah pikiran, jika setiap orang yang lewat ini direkam secara terus-menerus 24 nonstop kehidupan sehari-harinya dalam sebuah video. Aku yakin 70% hasil rekamannya akan bernasib kena delete pada proses editing film berlangsung. Inilah hidup yang membosankan….

Ditengah kenikmatan menyedot teh, tiba-tiba kudengar suara mencercau tak jelas, ditambah dengan bunyi “kecrekan” dari kumpulan tutup botol yang tak punya nada dan irama. Kucari sumber suara kacau tersebut. Setelah gagal menemukannya saat menoleh kekanan, akhirnya kutemukan gangguan surga siangku hari ini pada saat menoleh kekiri. Seorang bocah kecil, umurnya kira-kira tak lebih dari 4 tahun, penuh kudis dengan kaus dan celana pendek yang robek disana-sini.

Sesudah melewati dua kali penolakan dari 2 orang disampingku, anak itu mulai membuatku khawatir, dia mendekatiku…. Selama ini aku selalu menghormati pengamen, selama ada uang lebih, selama itu juga selalu kusisihkan uang untuk pengamen yang datang dan menghiburku. Konser live musisi jalanan pikirku..

Tapi tidak untuk anak ini, tak ada yang ia sajikan. Jika yang ia tadi lakukan adalah menyanyi, bagiku sama nilainya seperti orang iseng yang kentut disertai suara. Baunya tegas, namun suaranya lebih memilih keluar sedikit, lalu sedikit lagi, lalu sedikit lagi, dan selesai. Bukan hanya tidak menghibur, lebih dari itu, ia mengganggu ketertiban pribadiku.

Kalau saja simpati yang ia harapkan. Aku orang yang pertama menolak cara picisannya. Karena menurutku selalu ada celah bagi seseorang untuk berusaha, bukan lantas putus asa dan memamerkan kelemahannya demi menangguk rasa iba dari orang lain.
Anak itu semakin dekat, akupun semakin siap meladeninya dengan ceramah, nasehat, makian, hujatan dan berujung penolakan memberi uang. Setelah tiba didepanku, anak itu kemudian menjulurkan tangan kirinya, kurang ajar!!!

Puncak kekesalanku akhirnya kumuntahkan dengan bahasa yang agak sederhana ;

5 jari yang terbuka menghadap si bocah dengan senyum tipis yang kulengkapi dengan dua kata datar dan singkat “Maaf dek…”

Ia terus menjulurkan tangannya, aku keukeuh mengabaikannya. Perang dingin ini berlangsung cukup alot dan lama, 10 detik, butuh waktu sekitar 10 detik bagiku untuk mengabaikannya, anak itu lantas pergi dan mencari mangsa selanjutnya. Aku mengelus dada, ada himpitan di dada yang seketika tercerabut. Lega rasanya berhasil menolak memberi uang secara tega-tegaan.

Kutuntaskan pesta teh siang saat ini juga. Setelah mengucapkan terima kasih kepada penjual teh, aku berdiri melanjutkan perjalanan pulang menuju kost. Ada energi tambahan untuk bertarung kembali melawan terik matahari yang masih membelai ubun-ubunku.
Setelah sekitar sepuluh menit meninggalkan TKP surga siang tadi, aku terhenyak ketika melintasi jalan dan tertarik seluruh pandanganku kepada sebuah gang kecil di kanan jalan tempatku melintas.

Bocah itu menangis , didepannya ada mata garang yang memelototinya. Kakaknya, aku yakin dia adalah kakaknya. Mereka mirip secara fisik satu sama lain. Kakaknya yang umurnya berkisar 5 tahun lebih tua dari bocah kudisan tersebut terus menampar adiknya, menanyainya, memukulnya, menanyainya lagi dan menamparnya lagi.

“MANA DUITNYA..??? MASA’ DARI TADI CUMA DAPET TIGA REBU? PASTI LU UMPETIN!!! MANAAA!!!” teriak sang kakak.

Tak terhitung jumlah pukulan dan tamparan yang berlabuh di pipi bocah kecil ini. Bagiku ini lebih thriller dari film Jaws atau korban perang Israel-Palestina di Gaza. Karena kejadiannya langsung kusaksikan didepan mata kepalaku sendiri, siaran langsung tanpa iklan.

Tangisan sang bocah hanya membuat tangan kakaknya semakin professional memukul. Kepalaku tiba-tiba serasa dijatuhi berton-ton rasa bersalah. Bocah itu terus meneteskan air mata tanpa berani mengerang, sesekali ia terjatuh atau sekedar jongkok untuk menghindari rasa sakit yang tak kunjung berakhir itu. Tapi kakaknya yang berperan sebagai algojo siang ini memaksa sang bocah untuk tetap berdiri. Bocah kecil kudisan itu hanya menjawab segalanya dengan tangisan pilu.

Setelah puas menahan penyesalan, aku putuskan untuk ikut campur mengakhiri adegan tak senonoh ini, kuhampiri mereka berdua. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah kulewati, tiba-tiba terdengar teriakan memanggil dari kejauhan. “Asrori!!!”, itu Very, tangannya mengisyaratkan kepadaku untuk segera menghampirinya. “Cepetan!!. Penting…” lanjut Very. Kuambil dompet “super setiaku”, kuambil satu lembar uang sepuluh ribuan, lalu kulemparkan ketengah panggung pembantaian tadi.

Aku berlari-lari kecil menuju Very, ada janji yang kutekadkan dalam hati, akan kupanjatkan doa yang maha tulus di sepertiga malamku nanti khusus untuk bocah kecil kudisan tersebut.

Ya Allah, jika deritanya adalah proses kehidupan yang tak bisa ia hindari, maka berikanlah kekuatan atas anak itu…

Akupun menghampiri Very, wajahnya terlihat samar. Keramaian di jalan Pesanggrahan terlihat serba samar, semuanya kemudian gelap. Hanya tangisan bocah itu yang masih nyaring terngiang di telingaku.

Jakarta, 2010


Baca selengkapnya »

MELATIH HIDUP LEBIH MENGENAL JATIDIRI

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:

(esai)
Sebuah Ulasan Sajak-sajak Pencandu Hujan

Membaca dua puisi tentang bunda karya sahabat FB yang satu ini, kita diajak untuk selalu mengingat dan berbakti kepada bunda. Orang yang telah melahirkan kita. Orang telah banyak berkorban untuk kita. Orang yang telah banyak memberikan senyumnya untuk kita tanpa pernah minta balas jasa.
Dalam puisi pertama berjudul bunda seperti yang tertera di bawah ini,


BUNDA

bunda...
izinkan aku
tuk bersimpuh dan mencium kakimu
sekali saja
agar engkau tahu
betapa aku bukan siapa-siapa
tanpa campur tanganmu......

Sahabat yang hanya menyebutkan dirinya pecandu hujan, dengan sadar dan tulus, sahabat yang satu ini (pecandu hujan) melukiskan betapa besar jasa seorang ibu. Betapa aku lirik dengan sangat tawadu' mengakui bahwa dirinya tak berarti tanpa bantuan seorang ibu. Tanpa kasih sayang seorang ibu.
Hal secaman ini, mengajak kita merenung dan belajar untuk menghormati seorang ibu dengan penuh ketulusan.
Sedangkan pada puisi berjudul maafkan bunda (pecandu hujan) mengingatkan seluruh ibu yang memiliki buah hati, untuk senantiasa mengingat jatidirinya sebagai seorang ibu dan betapa seorang ibu tak berarti tanpa dukungan dari anak-anaknya sebab anak-anaknya yang membuat seorang ibu berlatih lebih sabar, lebih mengerti dalam memahami hidup.
Pecandu Hujan menempatkan diri dalam dua puisinya dalam posisi yang netral, di satu sisi dia mengingatkan kita sebagai seorang anak yang harus berbakti kepada ibunya lantaran jasa ibu yang begitu besar. Namun di sisi lain, pencandu hujan menegaskan jatidirinya sebagai seorang ibu. menurut hemat saya, pecandu hujan ingin mengingat seluruh kaum ibu untuk lebih peka dengan keadaan anak-anaknya. Untuk tidak egois dalam mengatur anak-anaknya namun tegas demi kebaikan hidup anak-anaknya. Semuanya bisa kita saksikan dengan gamblang dalam puisi di bawah ini
---------------------------------------------------------------

MAAFKAN BUNDA

Anak-anakku
Kalianlah penyejuk hati bunda
Kala bunda merasa letih
Menapaki jalan hidup yang terkadang penuh kerikil
Maafkan bunda......
Yang tak pernah mengerti perasaan kalian
Yang tak peka akan tangisan dan isak kalian
Bunda paham..
Kalian rindu kita berkumpul seperti dulu lagi
Kalian rindu kebebasan bermain
Seperti layaknya anak-anak lain
Namun bunda hanya manusia biasa
Penuh dengan kelemahan dan tiada sempurna
Yang tak bisa menjadi segalanya untuk kalian
Bunda hanya wanita biasa
yang terus berusaha untuk membahagiakan kalian
Menjadikan hari-hari kita berarti dan penuh makna
Menjadikan masa kecil kalian berharga untuk dikenang
Bunda berjanji, kita akan bahagia
Walau hanya bertiga....................
Kalian milik bunda........bunda milik kalian......

* Penuh cinta dan kasih sayang untukmu..Hafidz dan Rayna...
Dengan demikian membaca dua puisi pecandu hujan akan lebih menjadikan diri kita semakin memahami jatidiri kita baik sebagai anak mau pun sebagai orang tua. Di penutup puisinya, pecandu hujan semakin mempertegas tentang pentingnya kebersamaan hal ini tampat jelas dalam puisinya Kalian milik bunda........bunda milik kalian......Akhirnya saya hanya bisa mengucapkan terimakasih atas kerelaannya dalam memberi izin kepada saya untuk mengulas dua puisi pecandu hujan ini.

Al-Amien, 13 Maret 2010



Ilustrasi yang saya ambil di not pecandu hujan


Baca selengkapnya »

KENANGAN SAAT BERSAMA

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:



Biarkan dinding dan jendela bercerita
Ejaan-ejaan kebersamaan pun bisa kita baca
Rindu yang selu menari
Saat-saat indah dalan kebersamaan
Akan selalu mengingatkan kita
Menatap sunyi tanpa sahabat-sahabat sejati
Akan tak berarti dan sangat mengiris hati

Al-Amien, 2002-2010


Baca selengkapnya »

KEBUTUHAN MADURA AKAN BUDAYA YANG TERBAHARUI (Part 1)

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:

Konflik global budaya universal
“Sesungguhnya telah kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal”

***

Mendiskusikan perihal kebudayaan, sama melelahkannya dengan membongkar habis masalah kemanusiaan yang tak pernah kunjung selesai jika harus dibicarakan. Antara budaya dan manusia, sudah selayaknya tidak lagi ada segmentasi yang membatasi keduanya, sama halnya dengan melangkahkan kaki diatas pasir atau lumpur, budaya akan secara otomasis muncul sebagai jejak langkah yang tak bisa disangkal keberadaanya.

Kemunculan budaya pada setiap pranata kehidupan masyarakat memberikan ruang gerak pada setiap individu untuk melakukan proses pengembangan diri sebagai bukti kelangsungan hidup yang terus berlanjut dan berkembang.

Bagi sebagian pihak, hal tersebut merupakan sebuah ironi yang berpotensi memunculkan konflik yang lahir dari kemajemukan budaya yang ada. Demi menghindari efek domino dari konflik yang dikhawatirkan muncul, ironi tersebut akhirnya menyumbangkan sebuah cita-cita baru untuk mempersembahkan kepada umat manusia derajat yang sama rata, kualitas kehidupan yang sama, hak asasi manusia yang tidak pula berbeda, yakni modernism.

Penekanan pada artikulasi kata modern pada sebagian pihak berdampak sangat baik, khususnya bagi mereka yang berasal dari benua-benua penggagasnya seperti di Eropa dan Amerika. Namun, di akhir abad ke-19, kaum poskolonialis dan posmodernis memberikan hantaman besar kepada modernisme sekaligus melayangkan tuduhan, atau mungkin sebuah pelucutan secara vulgar kedok-kedok penjajahan gaya baru terutama terhadap Negara-negara dunia ketiga yang kerap kali menjadi korban penyatuan visi peradaban barat.

Kritik kaum poskolonialis banyak menyadarkan sejumlah pihak yang telah merasa sedikit demi sedikit terhapuskan jati dirinya dari permukaan dunia. Namun jika kita simak cermati, dampak baru yang sekarang mewabah dan menjadi permasalahan baru adalah inertia kebudayaan dalam tiap pranata masyarakat. Phobia akan modernisme kemudian memudarkan makna substansial dari kebudayaan.

Budaya yang sediakalanya merupakan proses yang ditempuh melalui kerja keras dan usaha berfikir para pendahulu kita, kini mengalami penyusutan langkah menjadi sebuah objek yang harus di awetkan, bahkan jika perlu sampai karatan.

Jika dalam ilmu fisika kita diperkenalkan dengan hukum kekekalan energi, maka dalam ranah negosiasi dan resolusi konflik kita dihadapkan pada hukum kekekalan konflik, yakni, konflik tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, yang ada hanyalah dinamisme sebuah konflik untuk bertransformasi menjadi sebuah konflik baru.

Dari hukum kekekalan konflik tersebut, kita semua terseret pada sebuah transformasi penjajahan dunia era baru menjadi sebuah phobia modernism yang berujung pada kejumudan kreatifitas yang tidak lagi menggelitik kita untuk terus berpikir kepada keterbukaan dari budaya lama menuju budaya yang lebih baru, yang otentik dan tetap menjaga keaslian jati diri.

Madura : antara fenomena gegar budaya dan pengkultusan warisan leluhur.
(bersambung ke “Kebutuhan Madura akan Budaya yang Terbaharui” part 2)

Jakarta, 2010


Baca selengkapnya »

HIDUP TANPA PENYESALAN

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:

Dari jauh lubuk hatiku
Jiwaku resah mencari tahu
Apa yang sedang kurasakan ini
Terguncang aku mengingat engkau

Seandainya aku masih bisa memilih
Akan kupilih engkau sebagai kekasih sejatiku
Betapa semua harapan hanya untukmu
Akan kupahat namamu dalam pusara hatiku

Kaulah rahasia terbesar hidupku
Yang takkan mungkin aku ungkapkan
Kusimpan erat perasaan
Meski ajal menanti


(Padi : seandainya bisa memilih)

***
Ada satu trik menarik untuk mendapatkan hati seorang perempuan yang kudapat ketika menonton film *maaf, mengingat begitu sakralnya film ini bagiku, judul terpaksa kami hidden* dan terbukti ampuh memakan sejumlah korban (sumpah orang laen, gw cm dikit!!! )

Trik tersebut kurang lebih seperti ini:

“Coba deh manis (gw saranin jangan make muka gombal waktu ngomong ini, jangan sampe dia muntah!!), kamu bayangin seandainya kamu berada dimasa depan 10 sampai 20 tahun kedepan dengan seorang pria pendamping hidup kamu. Dan malangnya, ketika itu kamu sering bertengkar karena berbagai sebab, akhirnya kamu bosan dan menyesal telah memilih pria tersebut sebagai suami kamu. Setelah penyesalan yang tak berujung, akhirnya, kamu mengumpulkan semua gambar yang pria yang pernah kamu kenal yang ada dalam ingatanmu, kamun sortir satu-persatu gambar-gambar tersebut sampai akhirnya terpilih sebuah gambar wajah seorang pria yang yang membuat kamu benar-benar sangat menyesal karena tidak bersama pria tersebut sebagai istrinya pada saat itu. Dan jika seandainya gambar wajah itu adalah gambar wajahku, bagaimana? Kenapa tidak kita coba untuk mamastikannya, dengan cara, meresmikan hubungan kita dengan label pacaran untuk sekedar tahu bahwa kita akan menyesal atau tidak menyesal jika akhirnya nanti menikah dengan orang lain?”

Bagi yang ingin mencoba silahkan mencoba, tapi bukan trik ini inti pembahasan note kali ini, hal yang paling menarik perhatianku dari fenomena diatas adalah perbincangan mengenai masa depan dan penyesalan-penyesalan yang terjadi pada diri seorang manusia.

Dengan melakukan pengandaian bahwa kita adalah utusan masa depan yang dikirim khusus untuk memperbaiki masa lalu kita agar menjadi lebih baik, maka dapat kita simpulkan bahwa kehidupan yang sedang kita jalani saat ini merupakan sebuah proses untuk meminimalisir penyesalan-penyesalan yang mungkin akan sangat mengganggu kita di masa yang akan datang. Bukan hanya tentang cinta yang berlanjut pada pernikahan, tapi pada setiap detail masa depan yang kita impikan, baik karir, bisnis, intelektual, sosial atau hubungan kita kepada sang Kholiq.

Jika saja kita mau untuk jujur kepada hati kita, pada usia yang belum seperempat abad ini, berapa banyak hal yang ingin kita perbaiki pada masa lalu, padahal 1 detik yang terlewati adalah hal terjauh yang tak mungkin lagi digapai oleh seorang manusia.

Dengan segala kerendahan hati yang tersisa, mari kita coba sejenak untuk meluangkan waktu untuk sekedar menoleh kepada teman-teman sebaya yang telah meraih kesuksesan jauh melampaui kita semua. Akan kita sadari dari sana bahwa terdapat banyak kesamaan dan hanya sedikit perbedaan antara kita dan mereka.

Kita sama dianugrahi akal pikiran yang maha dahsyat

Sama-sama bisa mengupayakan hal serupa

Sama besarnya peluang yang diberikan

Sama sakitnya jika harus terjatuh dari tangga impian

Sama-sama diberikan kesempatan untuk berdoa dan berharap

Dan banyak kesamaan-kesamaan lainnya

Tapi mereka yang sukses, hanya berbeda pada satu kesadaran bahwa mereka tidak harus menyesal jika nanti pada akhirnya mereka mendapatkan kesuksesan di kemudian hari.

Keep dreaming, praying and working

Biodata Penulis
Ia adalah seorang Mahasiswa UIN Jakarta '07


Baca selengkapnya »

KISAH CINTAMU DAN DOAKU

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:

Teruntuk guruku Nyai Hj. Zahrotul Wardah

Namun tahajjud sunyi
Yang kau pilih menjadi puisi
Akan selalu memikat hati
Ilahi pun meridlai

Halaman tunggumu
Jiwa yang selalu merindu

Zaman mengerlingkan mata
Akan kau rundukkan pandangan lantaran setia
Hizib-hizib cintamu kau hadiahkan pada permata hatimu
Rindumu selalu kau terjemahkan dalam gerakmu
O guruku
Tanda baktimu pada permata hatimu
Ulasan setiamu
Lintasan jalan cinta dan cumbumu

Walau aku tak lahir dari rahimmu
Aku masih anakmu
Rindang pohon doamu
Di halaman tanah jauhari
Akan meneduhiku
Hanya pada Allah aku berdoa semoga kau dan permata hatimu selalu menjadi cahaya

Al-Amien, 11 Maret 2010


Baca selengkapnya »

Pemikiran Kopong Zuhairi MisrawiBagikan

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:

(Sebuah Esai)

Di tanah air, mungkin tak begitu banyak yang kenal dengan Zuhairi Mizrawi, selain para aktivis sejumlah LSM, NU dan orang-orang yang berminat serta bergiat pada pelbagai pemikiran dan wacana liberalisasi keagamaan (terutama Islam). Maklum, ia adalah tokoh intelektual muda progresif NU yang cerdas dan cukup produktif dalam menerbitkan buku. Beberapa karyanya yang terakhir adalah Sejarah Mekkah, Sejarah Madinah dan Biografi KH. Hasyim Asy’arie. Ketiganya adalah terbitan Gramedia, penerbit mayor-label yang sekali lagi menandaskan bahwa dirinya layak diperhitungkan.

Sebagai intelektual yang kerap mewacanakan dan melontarkan pemikirannya, Zuhairi Misrawi otomatis menjadi milik publik. Dalam arti, bahwa segala laku, sikap, tindakan dan terlebih pemikirannya, akan selalu dimintai pertanggungjawaban oleh publik. Atau paling tidak, minimal akan selalu dinilai dan dilihat. Nah, tulisan ini merupakan contoh. Tulisan ini mencoba untuk mempertanyakan konsistensi dan keutuhan pemikiran seorang Zuhairi Misrawi itu.

Beberapa Pengalaman Pertemuan

Saya punya pengalaman cukup menarik yang berkaitan dengan Zuhairi Misrawi, yang kemudian menjadi alasan penting mengapa saya menulis ini. Beberapa minggu lalu, tepatnya tanggal 30 Januari, saya dengan salah seorang teman dekat Zuhairi Misrawi di almamater Pondok Pesantren Al-Amien (kebetulan saya juga alumni Al-Amien) diajak untuk menghadiri acara bedah buku terbaru Zuhairi Misrawi di Jogja Expo Center (JEC) Yogyakarta. Tanpa banyak pertimbangan, saya pun menyanggupi ajakannya. Karena kebetulan, semenjak di Al-Amien, saya diam-diam menyimpan sebuah kebanggaan akan pesona intelektualitasnya (mungkin ini juga lantaran karena Zuhairi Misrawi tidak hanya satu pesantren dengan saya, tapi juga satu daerah). Yang terbayang dalam pikiran saya waktu itu adalah, saya akan bertemu dengan Zuhairi Misrawi secara spesial karena kebetulan diajak teman dekatnya di almamater. Dimana saya akan diskusi panjang lebar, menimba ilmunya dan bertanya tentang proses kreatif menulisnya, atau sekedar ikut bernostalgia mengapungkan dan berbagi kenangan saat sama-sama di Al-Amien dahulu.

Tapi semua balon bayangan indah di kepala saya itu pecah, tatkala selesai acara bedah buku itu kami menemuinya, ia bersikap tak layak untuk ukuran seorang yang pernah berteman, besar dalam satu lembaga pendidikan formal dan satu daerah. Tiba-tiba keseluruhan pesona intelektualitasnya memudar dan menguap dalam pandangan saya. Pertanyaan-pertanyaan beriringan muncul, “bagaimana mungkin seorang Zuhairi Misrawi yang rajin mewacanakan akan pentingnya Islam yang toleran, inklusif, dan ramah bersikap congkak dan sama sekali tak mencerminkan pemikirannya yang kemilau itu?”. Batin saya berdialog keras, antara tetap memvonisnya buruk dan sedikit memberikannya toleransi. “Mungkin beliau lagi tidak mood, capek dan sebagainya”. “Atau ini wajah lain, alter ego dari seorang Zuhairi Misrawi?” Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat tak habis-habis hingga Zuhairi Misrawi pergi meninggalkan kami menuju mobil pribadinya.

Sungguh pengalaman diatas, berbeda jauh saat saya juga berkesempatan bertemu dengan Habiburahman El-Shirazy, penulis Novel laris Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih di kampus saya, Universitas Islam Indonesia (UII) beberapa tahun silam. Kang Abiq, begitu sapaan akrabnya, yang juga alumnus Kairo sama seperti Zuhairi Misrawi dengan senyum ramah dan agak malu-malu membaur dengan peserta bedah buku, yang meminta foto bareng dan tanda tangannya setelah usai acara.

Pengalaman lain, ketika saya ditakdirkan berkenalan dengan seorang penulis perempuan sekaligus spiritualis Yogyakarta, Marhaeni Eva. Hanya darinya, saya mendapatkan kesan bahwa satu-satunya penulis yang saya kenal, dirinyalah yang punya kerendah-hatian dan perhatian besar pada generasi penulis muda seperti saya. Juga ketika saya bertemu dengan filsuf muda dan penulis buku Derrida, Muhammad Al-Fayyadl beberapa tahun lalu dalam sebuah acara bedah buku di kampus Sanata Dharma. Meski saya waktu itu tak punya keberanian untuk menegurnya, tapi ia kerap membalas pesan-pesan saya.

Pemikiran Tak Berbuah

Beberapa pengalaman diatas, terus terang membawa saya pada perdebatan klasik antara pengarang dan karyanya. Sebuah karya adalah kepanjangan pikiran atau bahkan ideologi penulisnya. Pramoedya Ananta Toer pernah berujar bahwa sebuah karya adalah anak jiwa pengarangnya. Tapi dalam menafsirkan sebuah karya, seorang filsuf bahasa Roland Barthes punya pandangan berbeda. Menurutnya, ketika sebuah karya sudah selesai ditulis dan dilempar ke publik, maka pada waktu bersamaan, penulis telah mati. Ia kehilangan otoritas. Hal ini, dalam argumentasi Barthes, dimaksudkan untuk membebaskan sebuah teks dari tirani penafsiran penulisnya.

Jika sebentar ditimbang, pemikiran Barthes masuk akal. Tapi saya tak bisa berkeyakinan dan berkedirian se-ekstrem Barthes. Bagi saya, sang penulis masih penting untuk dikaji secara serius. Sebab, sebuah karya ditulis dalam konteks sosial-psikologis tertentu penulisnya. Jadi pengkajian akan “sang penulis”, masih dianggap akan memberikan informasi penting saat kita membaca dan menafsir sebuah karyanya. Maka dengan keyakinan ini, dimana penulis dan karyanya (pemikirannya) adalah ibarat dua mata koin yang tak dapat dipisahkan. Saya menemukan, bahwa tindakan dan sikap Zuhairi Misrowi diatas dengan pemikirannya menjadi mismatch. Ada semacam ketidaksinambungan antara tindakan dengan pemikirannya, yang kemudian menyebabkan pemikirannya menjadi mandul dan tak berbuah. Hal ini barangkali disebabkan oleh berhentinya pemikiran Zuhairi Misrawi pada ranah kognitif. Atau bisa jadi semua premis pemikirannya hanya lip-service yang sengaja dibangun tanpa keyakinan penuh hanya untuk mengejar popularitas? Bukan belakangan memang begitu banyak para intelektual dan cendekiawan yang berkutat pada ambisi-ambisi politik dan kekuasaan? Sekedar mengingatkan, pada tahun lalu, Zuhairi pernah mencalonkan diri sebagai wakil rakyat di parlemen melalui Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) dengan daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur, namun tak lolos. Ini menandakan bahwa para intelektual dan cendekiawan sudah kehilangan keriangannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, dan mulai tergiur dengan kekuasaan struktural.

Jika benar asumsi diatas, maka premis pemikiran Zuhairi Misrawi tak ubahnya jajajan di pasar-pasar. Begitu murah! Sebab benar kata Ghandi, kita harus menjadi bagian dari perubahan yang ingin kita lihat, sekecil apapun. Atau kata Rendra, perjuangan adalah melaksanakan kata-kata.

Jogjakarta, 2010
Biodata Penulis

Penulis adalah Mahasiswa UII Jogjakarta, Penulis Antologi Puisi Toples (total media 2009)


Baca selengkapnya »

KEBERSAMAAN KITA

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:

Teruntuk guruku tercinta KH. Moh. Idris Jauhari

Kau hadiahkan buah ilmu
Hingga hilang laparku

Mengeja kebersamaan kita
O guruku
Halaman silaturahmiku semakin hijau

Impianmu yang telah kuterjemahkan
Dalam bait-bait hidupku
Ringkasan mutiara hikmahmu
Itulah tempatku bercermin
Sesekali mengingatkanku betapa rindang pohon kasihmu

Jalan yang kau tempuh
Adalah hamparan sejarah
Untukku melangkah
Hingga aku bisa meraba jaman
Antarkan aku dengan doamu, guruku
Resahku yang menjelma guyuran hujan di halaman tungguku
Itulah yang akan segera reda beriring ridla Tuhan

Al-Amien, 2010


Baca selengkapnya »

RISALAH KEMATIAN

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:

Teruntuk guru tercinta Alm. Kh. Moh. Tidjani Djauhari, MA

Alangkah indah risalah kematianmu
Lintasan jalanmu bermekaran bunga doa
Melukis megah istirahmu yang penuh ridla

Ketika kau memilih bertatap dengan Ilahi
Hizib-hizib juangmu memikat hati

Menyaksikanmu menuju taman istirah
O guru
Hanya puisi yang bisa kuberikan

Tak kuasa hati ini membendung gelombang rindu
Ingatan demi ingatan menyapaku
Dalam hening embun katamu menyejukkan hatiku
Jerami hikmahmu
Akan selalu menggodaku
Niat tulus yang kau terjemahkan dalam gerakmu
Itu cermin saat aku akan melangkah

Dan kini
Jasadmu berselimut debu namun bunga juangmu selalu mekar di taman hatiku
Aku selalu ingin meniru
Ulasan jejakmu
Hanya saja
Aku belum mampu
Rasa ini pun selalu meminta
Ilahi agar senantiasa menjadikanku sepertimu

Mengeja risalah kematianmu, o guruku
Aku hanya bisa berbagi cerita lewat puisi

Al-Amien, 2007-2010


Baca selengkapnya »

JELMA

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:

masih kuingat tebal dalam risalah perasaannya ia bungkus airmata pada hurufhuruf mungil yang tak pernah rampung kueja. tak pernah tuntas kutafsir sebab makna begitu licin.
seolaholah airmata adalah isyarat tegas dan
rumit melebihi sekadar sumpah yang bisu:
atas setia, atas pesona, atas rasa, atas keseluruhan hati yang terenggut tanpa paksa
atau apapun yang dalam diri itu terus menggelegak. tak kenal lelah. tak kenal uzur. melompatlompat dari waktu ke waktu dengan senantiasa menjunjung rindu
yang diimaninya hingga ia menjelma kekasih.
menjelma aku.
tapi tak pernah kehilangan diri.


Atap rumah, saat langit pelan-pelan berubah warna: 12 Desember 2009, Yogyakarta.


Baca selengkapnya »

Mengenang Panjang

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:

-siapa yang datang menyantap tatap
sambil meneguk linang airmata-

kamis; 15 Ramadlan 1428 H, tepat jam dua malam, beliau diberangkatkan Tuhan,
menuju sebuah huni yang mungkin lebih teduh banginya.
Mikropon meneriakkan perpisahan, mengabarkan rentetan sendu dari ruang tamu.
Orang-orang menyambut, menyebut tapak perjuangannya kala lampau, sementara
hari dalam balutan duka;
Sejenak karangan bunga
Sesaat tetes airmata
Setiap panjatan doa
adalah pengantar rebahnya, mengantar almarhum ke lelap panjang

“seorang mujahid telah meninggalkan perang yang belum usai”, kata anak-anak
panah dengan busur haru di dada. Lantun kesabarannya mendinginkan musim dalam hatiku,
hingga petuah-petuahnya memupuk kerontangku untuk selalu ingat Tuhan

100 hari terasa serak, ditinggalnya kubah hijau dan sorban hijau kemudian
mengumpulkan kembali 1000 lebih harum masa silam dalam 1 tembang peringatan.
Orang-orang berdatang kembali, mengenang kembali tegak aksara yang
terlantun dalam garis-garis I’tikafnya, seraya membubung Tahlil berikut Yasin

puisi ini melawat, melawat tumpahnya cahaya
puisi ini mengumpat, mengumpat tabahnya udara
puisiku tidak menyanggupi pikir dan dzikirnya,
melainkan“ana abdun man aallamani harfan”

lima-enam/Jan.08

Biodata Penulis

Teruntuk almarhum Kyai Tidjani Djauhari Ia adalah salah satu penyair Al-Amien angkatan 31 buku Antologi yang ditulisnya bersama sahabat-sahabatnya berjudul Antologi Puisi Mengasah Alief (2007)


Baca selengkapnya »

KUMERINDUMU

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:

Ketika kembali kumendekam dalam angan
pun kembali wajahmu mengusik lamunan
Menoreh setitik memori lama
yang sudah mulai usang

Angin berhembus..
Menelusup segenap rasa gundah
Kau terasa begitu dekat
Begitu ingin kudekap
Namun hatiku terikat
Pada setiap detak nafas waktu yang menjerat

Seketika kumulai tersadar
Kau semakin jauh dariku
Salahkah jika kuberkata
“Perkenalan merupakan ucapan perpisahan yang tidak kita sadari”

Sunyi kembali menyapa
kini, biar angan yang bicara
Biar kata yang beri makna
“Aku tetap sayang kamu..”

Tidak perlu ada nama
Tidak juga ada cerita
Kuhanya bisa berdoa
Semoga kau bahagia


(Bawwabah 3, 16-06-2009)


Baca selengkapnya »

TENTANG IBU DALAM PUISI INI

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:

RINDU MEMBATIK BAHASA DALAM SAJAKKU

Rindu membatik bahasa dalam sajakku, ibu. lagu yang kau bisikan dulu mengalir begitu deras di nadiku. sungai-sungai di tubuhku mencari muara dan muara itu, selalu ada di wajah telagamu. temaram bohlam, membuat kita semakin erat berpelukan. kau selalu tahu, aku takut pada kegelapan. maka tiap kali kuberjalan dan tersesat di rimba kota, kau kembali menimangku sebagai air mata yang baru lahir dari percakapan waktu.

Rindu membatik bahasa dalam sajakku, ibu. aku senang menjadi malaikat kecilmu, ketika kehidupan sulit untuk diterjemahkan dengan kejujuran. kita menjadi bahasa penenang bila bapak pulang. mulutnya akan mengeluarkan iblis-iblis yang dilihatnya. kita hanya bisa menggigil kemudian mengeja alif disisa malam. aku ingat, doamu begitu tulus kau panjat. kita selalu hujan untuk bercakap dengan Tuhan.

Rindu membatik bahasa dalam sajakku, ibu. kau layarkan aku begitu jauh darimu. jauh dari halaman rumah yang kau sapu dengan air matamu, jauh dari bayam yang kau tumis diperutku. namun aku tahu, kau hanya ingin menjadikanku bulan, agar kelak kubisa berjalan dalam kegelapan. rinduku tak habis padamu.

Madura, 05/03/2007

SAJAK PERANTAUAN

Di rantau luka, bila kukenang nadi ibu yang menenunku jadi dewasa, dari jerat-jerat air mata serta bibir purnama. saat malam kumenangis, bibirmu bagai gerimis. mendendangkan sejuk hingga menusuk mataku tuk jadi kantuk.

Burung-burung mengepak sayapnya ke dalam dadaku. manarikan kisah yang selalu kutimang dalam doa-doa subuhku. di halaman, embut beri’tikaf pada rumput panjang membasahi mataku yang penuh kenangan, sedang matahari tak setelaga yang kuperhitungkan. aku anak kecil yang kau timang, kini mengenangmu lewat sekat kafan berlapis empat.

Mata bundarmu ibu seperti bulan. hingga aku tak lagi perlu menyalahkan lentera di hatiku ketika hari mulai petang. pada kabut, kukepak rindu pada nisan tempatmu berlabu.

Wisma Sastra, 21/09/2007

SUATU MALAM DI JAKARTA

Pendar bohlam mirip kunang-kunang membuka percakapan kita pada ikan-ikan di desa. mereka berenang-renang dalam otak dan ususku, mungkin juga dalam urat nadimu. sisa kenangan ini masih basah di mata kita.

Kau suguhkan kemarau pada secangkir teh. Sebagaimana kau suguhkan ombak di mata ibu. ketika warisan tergadaikan dengan pabrik dan kita mulai mencari jejak sendiri-sendiri.

“Pulanglah bang! ibu mati meninggalkan dagaha pada matamu.”

2007


Baca selengkapnya »

TEKA-TEKI CINTA

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:

TEKA-TEKI CINTA
“Ihsan kamu harus menikah dengan uswah!”
”Menikah!”
”Ya, kamu harus menikah dengan Uswah!”
”Kenapa harus dengan Uswah?”
”Kamu akan hidup bahagia!”
”Semudah itukah?”
”Ya!”
”Memang apa kelebihan Uswah?”
”Banyak!”
”Bukankah dia, hanya seorang perempuan desa!”
”Memang kenapa, kalau dia seorang perempuan desa?”
”Dia pasti punya pengetahuan yang terbelakang dan tidak bisa diandalkan!”
”Kamu tidak boleh menilai seseorang, hanya dari asalnya saja!”
”Memang begitu kenyataannya, semua orang desa pasti sama! Tidak punya malu, seperti Maryamah yang kamu tawarkan padaku dulu!”

###
Percakapan Ihsan dan Hasan terhenti. Hanya desir angin yang mereka biarkan berdesir dan menyisir rambut serta kenangan masa lalu mereka.
”Uswah tidak seperti Maryamah! Uswah orangnya santun dan masih polos!”
”Bukankah pernyataan seperti itu, sudah pernah kamu lontarkan padaku!”
”Kalau Uswah, aku sudah melakukan pengamatan dengan sangat teliti, aku harap kamu mengerti! Ini sebagai penebus kesalahanku di masa lalu karena telah cerobah dalam memilihkan calon pendamping hidupmu!
”Tidak semudah itu Hasan! Hatiku masih sakit, terlebih bila mengingat kenangan masa laluku bersama Maryamah yang suram itu!”
”Aku mengerti apa yang kamu rasakan Ihsan, menghilangkan perasaan trauma masa lalu tidaklah mudah!”
”Lantas kenapa kamu masih memaksaku untuk menikah dengan Uswah?”
”Karena aku yakin, sudah tiba saatnya kamu bangkit dari trauma masa lalumu yang suram! Sudah saatnya pula, kamu hidup di dunia nyata tanpa harus berdiam diri dalam penyesalan yang hanya akan menyiksamu saja!”
”Baiklah, akan aku pekirkan dulu! Aku tidak mau, kenyataan pahit menimpaku lagi!”
###
Perlahan bayangan Maryamah, terus menari dalam ingatan Ihsan. Perempuan desa yang pernah mengecewakan perasaannya, seakan-akan tersenyum sinis melihat keadaaan Ihsan.
Maryamah, aku sangat membencimu. Maryamah, aku sangat kecewa padamu, sampai kapanpun aku tidak akan pernah memaafkanmu. Maryamah, demi harta kamu telah menggadaikan cintaku. Maryamah, demi harta kamu tega membuat hidupku memenderita. Maryamah, tak kusangka hatimu bisa mendua. Kamu bisa membagi cintamu, tak hanya denganku. Kamu membagi cintamu, dengan lelaki yang lebih gagah dan lebih kaya dariku.
Maryamah, cintamu palsu. Janjimu palsu. Kamu hanya mencintai, hartaku saja. Kamu tak pernah mencintaiku. Buktinya, setelah aku miskin, kamu berpindah hati. Kamu hanya iblis, yang menjelma manusia. Ihsan tidak henti-hentinya, meluapkan semua rasa kekecewaannya kepada Maryamah sambil membanting foto Maryamah ke lantai.
Tiba-tiba pintu rumah Ihsan berbunyi.
”Siapa di luar?”
”Aku, Hasan!”
”Silahkan masuk!”
Hasan masuk dan langsung menuju Ihsan. Dari kejauhan, Hasan mengamati prilaku Ihsan. Hasan sangat iba, pada Ihsan. Hasan merasa sangat berdosa, karena telah mengenalkan Maryamah dan menikahkan Maryamah dengan Ihsan.
”Ihsan, kamu tidak boleh terlalu sedih!” kata Hasan dengan lembutnya dan sangat hati-hati.
Ihsan hanya terdiam, mendengarkan nasehat sahabatnya.
”Hasan, kamu harus mengerti perasaanku!”
”Aku mengerti, tapi kamu sudah keterlaluan!”
”Ini semua berkat ulahmu juga!” Ihsan naik pitam.
Hasan terdiam. Tanpa kata. Hasan menyadari kesalahannya.
”Aku minta maaf, oleh sebab itu aku datang kemari untuk menebus seluruh kesalahanku di masa lalu!”
”Semudah itukah, kamu menghapus seluruh perih dalam hatiku?”
”Aku sadar, permintaan maafku tidak bisa menghapus perih dalam hatimu. Namun, Insya Allah Uswah yang aku tawarkan untuk menjadi pendamping hidupmu kali ini, bisa menghilangkan rasa kekecewaanmu kepada Maryamah. Tak hanya itu, Uswah bisa memberikan kebahagiaan untukmu dengan kesetiannya.”
”Sudahlah, jangan berlagak alim di depanku. Kata Insya Allah terlalu indah dan terlalu suci untuk diucapkan. Kamu tidak pantas mengucapkan kalimat mulia itu!”
Hasan diam, mencoba tabah terlebih setelah menyadari kesalahan yang pernah diperbuat di masa lalu kepada Ihsan.
”Memang aku akui, ini terkesan begitu cepat. Namun aku mulai terbiasa mengucapkan kalimat tersebut, setelah aku mengenal KH. Latif!”
”Memangnya, siapa KH. Latif itu?”
“Ayahnya Uswah, calon mertuamu!”
“Memang apa yang telah kamu katakan kepada KH. Latif!”
”Aku menceritakan kisah masa lalumu yang suram! Aku menceritakannya, dengan penuh kesungguhan hati sembari mengharap keajaiban dari Allah. Barangkali setelah itu, aku bisa menebus kesalahanku di masa lalu kepadamu!”
”Bagaimana respon KH. Latif, ketika mendengar ceritamu?”
“Responnya baik dan menghadiahkan Uswah sebagai calon pendamping hidupmu. Uswah pun, sudah menyetujui permintaan ayahnya!”
“Bagaimana dengan penampilan Uswah? Dia tidak kampungan kan! Dia tidak bermata duitan bukan!” Lagi-lagi pernyataan kasar Ihsan terlontar, setelah bayangan Maryamah hinggap dibenaknya.
”Insya Allah kamu akan bahagia hidup bersama Uswah!”
Ihsan diam, hanya angin dibiarkan menyisir rambutnya. Ihsan merenung.
“Yakinkan hatimu, Uswah itu perempuan terbaik yang telah dianugrahkan Allah!”
”Bismillah, aku terima tawaranmu, semoga ini menjadi awal kebahagian dalam hidupku dan aku akan berusaha untuk membuat Uswah bahagia, agar dia tidak mengalami kenyataan pahit seperti yang telah aku alami!”
”Kalau begitu, mari kita membaca basmalah” Ajak Hasan sambil menggandeng tangan Ihsan.
Akhirnya, Mereka pun berangkat menuju kediaman KH. Latif untuk menemui KH. Latif dan membicarakan tentang pernikahan Ihsan dengan Uswah.

Al-Amien, 09 Januari 2010

Biodata Penulis
Ia adalah salah seorang pembina sanggar sastra al-amien dan pada tahun 2005 ikut memeriahkan hari puisi sedunia dengan ikut berpartisipasi dalam lomba cipta puisi. Puisi yang diikutkan berjudul Madura, Izinkan Aku Melukismu. Karya-karyanya bisa dibaca diberbagai media Online dan ada juga yang telah dibukukan.


Baca selengkapnya »