DOA UNTUK SEORANG ANAK KECIL

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:

Hanya panas terik matahari yang memiliki arti khusus siang ini bagiku ; sumber keringat, haus dan dahaga sekaligus berpotensi menyuburkan bau ketiak yang membuatku siaga 1 untuk selalu siap menerima “serangan” orang-orang yang mengenalku, menyapaku, lalu mengajak berbincang yang tidak mungkin kulayani dari jarak jauh.

Selain terik matahari, tidak ada yang spesial, tidak ada kebakaran dirumah penduduk dari arus pendek listrik dan kebocoran selang tabung gas. Tidak ada korban jiwa, tidak ada kerugian material, dan parahnya lagi, tidak ada apa-apa.

Angin puting beliung yang merobohkan baleho raksasa di pinggir jalan dan merusak fasilitas halte kampus, juga tidak ada....

Kali ini perhatianku teralihkan, kulihat embun segar yang menetes satu demi satu dipinggiran gelas es teh yang menandai kesegaran teh tersebut kalau sampai numpang lewat di tenggorokan yang sedari tadi memiliki hak paling besar untuk berontak dari haus yang menjajahnya.

Setelah menghampiri penjual es teh “Poci”, kuambil dompet “super setia”-ku dari kantong belakang jeans yang juga “super setia” untuk membeli segelas kesegaran dari teh Pocinya, aku mengambil posisi dan duduk dikursi yang telah disediakan menjelang pesta es tehku sebagai bentuk lain dari surga siang ini. Sambil menghayati dengan penuh penghayatan es teh yang kupegang, kujelajahi jalan pesanggrahan lewat pandangan menyelidik. Ramai dan padat karena lokasinya tepat berada di samping kampus yang menjadikannya pusat perdagangan terbesar di sekitar area kampus.

Kutatap satu persatu-satu orang yang berlalu lalang, sebagian besar adalah mahasiswa dan mahasiswi. Aku melayang menuju alam ide. Terlintas sebuah pikiran, jika setiap orang yang lewat ini direkam secara terus-menerus 24 nonstop kehidupan sehari-harinya dalam sebuah video. Aku yakin 70% hasil rekamannya akan bernasib kena delete pada proses editing film berlangsung. Inilah hidup yang membosankan….

Ditengah kenikmatan menyedot teh, tiba-tiba kudengar suara mencercau tak jelas, ditambah dengan bunyi “kecrekan” dari kumpulan tutup botol yang tak punya nada dan irama. Kucari sumber suara kacau tersebut. Setelah gagal menemukannya saat menoleh kekanan, akhirnya kutemukan gangguan surga siangku hari ini pada saat menoleh kekiri. Seorang bocah kecil, umurnya kira-kira tak lebih dari 4 tahun, penuh kudis dengan kaus dan celana pendek yang robek disana-sini.

Sesudah melewati dua kali penolakan dari 2 orang disampingku, anak itu mulai membuatku khawatir, dia mendekatiku…. Selama ini aku selalu menghormati pengamen, selama ada uang lebih, selama itu juga selalu kusisihkan uang untuk pengamen yang datang dan menghiburku. Konser live musisi jalanan pikirku..

Tapi tidak untuk anak ini, tak ada yang ia sajikan. Jika yang ia tadi lakukan adalah menyanyi, bagiku sama nilainya seperti orang iseng yang kentut disertai suara. Baunya tegas, namun suaranya lebih memilih keluar sedikit, lalu sedikit lagi, lalu sedikit lagi, dan selesai. Bukan hanya tidak menghibur, lebih dari itu, ia mengganggu ketertiban pribadiku.

Kalau saja simpati yang ia harapkan. Aku orang yang pertama menolak cara picisannya. Karena menurutku selalu ada celah bagi seseorang untuk berusaha, bukan lantas putus asa dan memamerkan kelemahannya demi menangguk rasa iba dari orang lain.
Anak itu semakin dekat, akupun semakin siap meladeninya dengan ceramah, nasehat, makian, hujatan dan berujung penolakan memberi uang. Setelah tiba didepanku, anak itu kemudian menjulurkan tangan kirinya, kurang ajar!!!

Puncak kekesalanku akhirnya kumuntahkan dengan bahasa yang agak sederhana ;

5 jari yang terbuka menghadap si bocah dengan senyum tipis yang kulengkapi dengan dua kata datar dan singkat “Maaf dek…”

Ia terus menjulurkan tangannya, aku keukeuh mengabaikannya. Perang dingin ini berlangsung cukup alot dan lama, 10 detik, butuh waktu sekitar 10 detik bagiku untuk mengabaikannya, anak itu lantas pergi dan mencari mangsa selanjutnya. Aku mengelus dada, ada himpitan di dada yang seketika tercerabut. Lega rasanya berhasil menolak memberi uang secara tega-tegaan.

Kutuntaskan pesta teh siang saat ini juga. Setelah mengucapkan terima kasih kepada penjual teh, aku berdiri melanjutkan perjalanan pulang menuju kost. Ada energi tambahan untuk bertarung kembali melawan terik matahari yang masih membelai ubun-ubunku.
Setelah sekitar sepuluh menit meninggalkan TKP surga siang tadi, aku terhenyak ketika melintasi jalan dan tertarik seluruh pandanganku kepada sebuah gang kecil di kanan jalan tempatku melintas.

Bocah itu menangis , didepannya ada mata garang yang memelototinya. Kakaknya, aku yakin dia adalah kakaknya. Mereka mirip secara fisik satu sama lain. Kakaknya yang umurnya berkisar 5 tahun lebih tua dari bocah kudisan tersebut terus menampar adiknya, menanyainya, memukulnya, menanyainya lagi dan menamparnya lagi.

“MANA DUITNYA..??? MASA’ DARI TADI CUMA DAPET TIGA REBU? PASTI LU UMPETIN!!! MANAAA!!!” teriak sang kakak.

Tak terhitung jumlah pukulan dan tamparan yang berlabuh di pipi bocah kecil ini. Bagiku ini lebih thriller dari film Jaws atau korban perang Israel-Palestina di Gaza. Karena kejadiannya langsung kusaksikan didepan mata kepalaku sendiri, siaran langsung tanpa iklan.

Tangisan sang bocah hanya membuat tangan kakaknya semakin professional memukul. Kepalaku tiba-tiba serasa dijatuhi berton-ton rasa bersalah. Bocah itu terus meneteskan air mata tanpa berani mengerang, sesekali ia terjatuh atau sekedar jongkok untuk menghindari rasa sakit yang tak kunjung berakhir itu. Tapi kakaknya yang berperan sebagai algojo siang ini memaksa sang bocah untuk tetap berdiri. Bocah kecil kudisan itu hanya menjawab segalanya dengan tangisan pilu.

Setelah puas menahan penyesalan, aku putuskan untuk ikut campur mengakhiri adegan tak senonoh ini, kuhampiri mereka berdua. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah kulewati, tiba-tiba terdengar teriakan memanggil dari kejauhan. “Asrori!!!”, itu Very, tangannya mengisyaratkan kepadaku untuk segera menghampirinya. “Cepetan!!. Penting…” lanjut Very. Kuambil dompet “super setiaku”, kuambil satu lembar uang sepuluh ribuan, lalu kulemparkan ketengah panggung pembantaian tadi.

Aku berlari-lari kecil menuju Very, ada janji yang kutekadkan dalam hati, akan kupanjatkan doa yang maha tulus di sepertiga malamku nanti khusus untuk bocah kecil kudisan tersebut.

Ya Allah, jika deritanya adalah proses kehidupan yang tak bisa ia hindari, maka berikanlah kekuatan atas anak itu…

Akupun menghampiri Very, wajahnya terlihat samar. Keramaian di jalan Pesanggrahan terlihat serba samar, semuanya kemudian gelap. Hanya tangisan bocah itu yang masih nyaring terngiang di telingaku.

Jakarta, 2010


0 komentar:

Posting Komentar