RINDU MEMBATIK BAHASA DALAM SAJAKKU
Rindu membatik bahasa dalam sajakku, ibu. lagu yang kau bisikan dulu mengalir begitu deras di nadiku. sungai-sungai di tubuhku mencari muara dan muara itu, selalu ada di wajah telagamu. temaram bohlam, membuat kita semakin erat berpelukan. kau selalu tahu, aku takut pada kegelapan. maka tiap kali kuberjalan dan tersesat di rimba kota, kau kembali menimangku sebagai air mata yang baru lahir dari percakapan waktu.
Rindu membatik bahasa dalam sajakku, ibu. aku senang menjadi malaikat kecilmu, ketika kehidupan sulit untuk diterjemahkan dengan kejujuran. kita menjadi bahasa penenang bila bapak pulang. mulutnya akan mengeluarkan iblis-iblis yang dilihatnya. kita hanya bisa menggigil kemudian mengeja alif disisa malam. aku ingat, doamu begitu tulus kau panjat. kita selalu hujan untuk bercakap dengan Tuhan.
Rindu membatik bahasa dalam sajakku, ibu. kau layarkan aku begitu jauh darimu. jauh dari halaman rumah yang kau sapu dengan air matamu, jauh dari bayam yang kau tumis diperutku. namun aku tahu, kau hanya ingin menjadikanku bulan, agar kelak kubisa berjalan dalam kegelapan. rinduku tak habis padamu.
Madura, 05/03/2007
SAJAK PERANTAUAN
Di rantau luka, bila kukenang nadi ibu yang menenunku jadi dewasa, dari jerat-jerat air mata serta bibir purnama. saat malam kumenangis, bibirmu bagai gerimis. mendendangkan sejuk hingga menusuk mataku tuk jadi kantuk.
Burung-burung mengepak sayapnya ke dalam dadaku. manarikan kisah yang selalu kutimang dalam doa-doa subuhku. di halaman, embut beri’tikaf pada rumput panjang membasahi mataku yang penuh kenangan, sedang matahari tak setelaga yang kuperhitungkan. aku anak kecil yang kau timang, kini mengenangmu lewat sekat kafan berlapis empat.
Mata bundarmu ibu seperti bulan. hingga aku tak lagi perlu menyalahkan lentera di hatiku ketika hari mulai petang. pada kabut, kukepak rindu pada nisan tempatmu berlabu.
Wisma Sastra, 21/09/2007
SUATU MALAM DI JAKARTA
Pendar bohlam mirip kunang-kunang membuka percakapan kita pada ikan-ikan di desa. mereka berenang-renang dalam otak dan ususku, mungkin juga dalam urat nadimu. sisa kenangan ini masih basah di mata kita.
Kau suguhkan kemarau pada secangkir teh. Sebagaimana kau suguhkan ombak di mata ibu. ketika warisan tergadaikan dengan pabrik dan kita mulai mencari jejak sendiri-sendiri.
“Pulanglah bang! ibu mati meninggalkan dagaha pada matamu.”
2007
1 komentar:
Posting Komentar
18 Mei 2013 pukul 18.56
Tetap semangat Syarif dan tetap berkaya yang berkualitas