KEBUTUHAN MADURA AKAN BUDAYA YANG TERBAHARUI (Part 1)

Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category:

Konflik global budaya universal
“Sesungguhnya telah kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal”

***

Mendiskusikan perihal kebudayaan, sama melelahkannya dengan membongkar habis masalah kemanusiaan yang tak pernah kunjung selesai jika harus dibicarakan. Antara budaya dan manusia, sudah selayaknya tidak lagi ada segmentasi yang membatasi keduanya, sama halnya dengan melangkahkan kaki diatas pasir atau lumpur, budaya akan secara otomasis muncul sebagai jejak langkah yang tak bisa disangkal keberadaanya.

Kemunculan budaya pada setiap pranata kehidupan masyarakat memberikan ruang gerak pada setiap individu untuk melakukan proses pengembangan diri sebagai bukti kelangsungan hidup yang terus berlanjut dan berkembang.

Bagi sebagian pihak, hal tersebut merupakan sebuah ironi yang berpotensi memunculkan konflik yang lahir dari kemajemukan budaya yang ada. Demi menghindari efek domino dari konflik yang dikhawatirkan muncul, ironi tersebut akhirnya menyumbangkan sebuah cita-cita baru untuk mempersembahkan kepada umat manusia derajat yang sama rata, kualitas kehidupan yang sama, hak asasi manusia yang tidak pula berbeda, yakni modernism.

Penekanan pada artikulasi kata modern pada sebagian pihak berdampak sangat baik, khususnya bagi mereka yang berasal dari benua-benua penggagasnya seperti di Eropa dan Amerika. Namun, di akhir abad ke-19, kaum poskolonialis dan posmodernis memberikan hantaman besar kepada modernisme sekaligus melayangkan tuduhan, atau mungkin sebuah pelucutan secara vulgar kedok-kedok penjajahan gaya baru terutama terhadap Negara-negara dunia ketiga yang kerap kali menjadi korban penyatuan visi peradaban barat.

Kritik kaum poskolonialis banyak menyadarkan sejumlah pihak yang telah merasa sedikit demi sedikit terhapuskan jati dirinya dari permukaan dunia. Namun jika kita simak cermati, dampak baru yang sekarang mewabah dan menjadi permasalahan baru adalah inertia kebudayaan dalam tiap pranata masyarakat. Phobia akan modernisme kemudian memudarkan makna substansial dari kebudayaan.

Budaya yang sediakalanya merupakan proses yang ditempuh melalui kerja keras dan usaha berfikir para pendahulu kita, kini mengalami penyusutan langkah menjadi sebuah objek yang harus di awetkan, bahkan jika perlu sampai karatan.

Jika dalam ilmu fisika kita diperkenalkan dengan hukum kekekalan energi, maka dalam ranah negosiasi dan resolusi konflik kita dihadapkan pada hukum kekekalan konflik, yakni, konflik tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, yang ada hanyalah dinamisme sebuah konflik untuk bertransformasi menjadi sebuah konflik baru.

Dari hukum kekekalan konflik tersebut, kita semua terseret pada sebuah transformasi penjajahan dunia era baru menjadi sebuah phobia modernism yang berujung pada kejumudan kreatifitas yang tidak lagi menggelitik kita untuk terus berpikir kepada keterbukaan dari budaya lama menuju budaya yang lebih baru, yang otentik dan tetap menjaga keaslian jati diri.

Madura : antara fenomena gegar budaya dan pengkultusan warisan leluhur.
(bersambung ke “Kebutuhan Madura akan Budaya yang Terbaharui” part 2)

Jakarta, 2010


0 komentar:

Posting Komentar