Pemikiran Kopong Zuhairi MisrawiBagikan
Posted by: Moh. Ghufron Cholid / Category: Kamil Alfi Arifin(Sebuah Esai)
Di tanah air, mungkin tak begitu banyak yang kenal dengan Zuhairi Mizrawi, selain para aktivis sejumlah LSM, NU dan orang-orang yang berminat serta bergiat pada pelbagai pemikiran dan wacana liberalisasi keagamaan (terutama Islam). Maklum, ia adalah tokoh intelektual muda progresif NU yang cerdas dan cukup produktif dalam menerbitkan buku. Beberapa karyanya yang terakhir adalah Sejarah Mekkah, Sejarah Madinah dan Biografi KH. Hasyim Asy’arie. Ketiganya adalah terbitan Gramedia, penerbit mayor-label yang sekali lagi menandaskan bahwa dirinya layak diperhitungkan.
Sebagai intelektual yang kerap mewacanakan dan melontarkan pemikirannya, Zuhairi Misrawi otomatis menjadi milik publik. Dalam arti, bahwa segala laku, sikap, tindakan dan terlebih pemikirannya, akan selalu dimintai pertanggungjawaban oleh publik. Atau paling tidak, minimal akan selalu dinilai dan dilihat. Nah, tulisan ini merupakan contoh. Tulisan ini mencoba untuk mempertanyakan konsistensi dan keutuhan pemikiran seorang Zuhairi Misrawi itu.
Beberapa Pengalaman Pertemuan
Saya punya pengalaman cukup menarik yang berkaitan dengan Zuhairi Misrawi, yang kemudian menjadi alasan penting mengapa saya menulis ini. Beberapa minggu lalu, tepatnya tanggal 30 Januari, saya dengan salah seorang teman dekat Zuhairi Misrawi di almamater Pondok Pesantren Al-Amien (kebetulan saya juga alumni Al-Amien) diajak untuk menghadiri acara bedah buku terbaru Zuhairi Misrawi di Jogja Expo Center (JEC) Yogyakarta. Tanpa banyak pertimbangan, saya pun menyanggupi ajakannya. Karena kebetulan, semenjak di Al-Amien, saya diam-diam menyimpan sebuah kebanggaan akan pesona intelektualitasnya (mungkin ini juga lantaran karena Zuhairi Misrawi tidak hanya satu pesantren dengan saya, tapi juga satu daerah). Yang terbayang dalam pikiran saya waktu itu adalah, saya akan bertemu dengan Zuhairi Misrawi secara spesial karena kebetulan diajak teman dekatnya di almamater. Dimana saya akan diskusi panjang lebar, menimba ilmunya dan bertanya tentang proses kreatif menulisnya, atau sekedar ikut bernostalgia mengapungkan dan berbagi kenangan saat sama-sama di Al-Amien dahulu.
Tapi semua balon bayangan indah di kepala saya itu pecah, tatkala selesai acara bedah buku itu kami menemuinya, ia bersikap tak layak untuk ukuran seorang yang pernah berteman, besar dalam satu lembaga pendidikan formal dan satu daerah. Tiba-tiba keseluruhan pesona intelektualitasnya memudar dan menguap dalam pandangan saya. Pertanyaan-pertanyaan beriringan muncul, “bagaimana mungkin seorang Zuhairi Misrawi yang rajin mewacanakan akan pentingnya Islam yang toleran, inklusif, dan ramah bersikap congkak dan sama sekali tak mencerminkan pemikirannya yang kemilau itu?”. Batin saya berdialog keras, antara tetap memvonisnya buruk dan sedikit memberikannya toleransi. “Mungkin beliau lagi tidak mood, capek dan sebagainya”. “Atau ini wajah lain, alter ego dari seorang Zuhairi Misrawi?” Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat tak habis-habis hingga Zuhairi Misrawi pergi meninggalkan kami menuju mobil pribadinya.
Sungguh pengalaman diatas, berbeda jauh saat saya juga berkesempatan bertemu dengan Habiburahman El-Shirazy, penulis Novel laris Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih di kampus saya, Universitas Islam Indonesia (UII) beberapa tahun silam. Kang Abiq, begitu sapaan akrabnya, yang juga alumnus Kairo sama seperti Zuhairi Misrawi dengan senyum ramah dan agak malu-malu membaur dengan peserta bedah buku, yang meminta foto bareng dan tanda tangannya setelah usai acara.
Pengalaman lain, ketika saya ditakdirkan berkenalan dengan seorang penulis perempuan sekaligus spiritualis Yogyakarta, Marhaeni Eva. Hanya darinya, saya mendapatkan kesan bahwa satu-satunya penulis yang saya kenal, dirinyalah yang punya kerendah-hatian dan perhatian besar pada generasi penulis muda seperti saya. Juga ketika saya bertemu dengan filsuf muda dan penulis buku Derrida, Muhammad Al-Fayyadl beberapa tahun lalu dalam sebuah acara bedah buku di kampus Sanata Dharma. Meski saya waktu itu tak punya keberanian untuk menegurnya, tapi ia kerap membalas pesan-pesan saya.
Pemikiran Tak Berbuah
Beberapa pengalaman diatas, terus terang membawa saya pada perdebatan klasik antara pengarang dan karyanya. Sebuah karya adalah kepanjangan pikiran atau bahkan ideologi penulisnya. Pramoedya Ananta Toer pernah berujar bahwa sebuah karya adalah anak jiwa pengarangnya. Tapi dalam menafsirkan sebuah karya, seorang filsuf bahasa Roland Barthes punya pandangan berbeda. Menurutnya, ketika sebuah karya sudah selesai ditulis dan dilempar ke publik, maka pada waktu bersamaan, penulis telah mati. Ia kehilangan otoritas. Hal ini, dalam argumentasi Barthes, dimaksudkan untuk membebaskan sebuah teks dari tirani penafsiran penulisnya.
Jika sebentar ditimbang, pemikiran Barthes masuk akal. Tapi saya tak bisa berkeyakinan dan berkedirian se-ekstrem Barthes. Bagi saya, sang penulis masih penting untuk dikaji secara serius. Sebab, sebuah karya ditulis dalam konteks sosial-psikologis tertentu penulisnya. Jadi pengkajian akan “sang penulis”, masih dianggap akan memberikan informasi penting saat kita membaca dan menafsir sebuah karyanya. Maka dengan keyakinan ini, dimana penulis dan karyanya (pemikirannya) adalah ibarat dua mata koin yang tak dapat dipisahkan. Saya menemukan, bahwa tindakan dan sikap Zuhairi Misrowi diatas dengan pemikirannya menjadi mismatch. Ada semacam ketidaksinambungan antara tindakan dengan pemikirannya, yang kemudian menyebabkan pemikirannya menjadi mandul dan tak berbuah. Hal ini barangkali disebabkan oleh berhentinya pemikiran Zuhairi Misrawi pada ranah kognitif. Atau bisa jadi semua premis pemikirannya hanya lip-service yang sengaja dibangun tanpa keyakinan penuh hanya untuk mengejar popularitas? Bukan belakangan memang begitu banyak para intelektual dan cendekiawan yang berkutat pada ambisi-ambisi politik dan kekuasaan? Sekedar mengingatkan, pada tahun lalu, Zuhairi pernah mencalonkan diri sebagai wakil rakyat di parlemen melalui Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) dengan daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur, namun tak lolos. Ini menandakan bahwa para intelektual dan cendekiawan sudah kehilangan keriangannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, dan mulai tergiur dengan kekuasaan struktural.
Jika benar asumsi diatas, maka premis pemikiran Zuhairi Misrawi tak ubahnya jajajan di pasar-pasar. Begitu murah! Sebab benar kata Ghandi, kita harus menjadi bagian dari perubahan yang ingin kita lihat, sekecil apapun. Atau kata Rendra, perjuangan adalah melaksanakan kata-kata.
Jogjakarta, 2010
Biodata Penulis
Penulis adalah Mahasiswa UII Jogjakarta, Penulis Antologi Puisi Toples (total media 2009)